KUPANG, 20 OKTOBER 2025 – Kasus kekerasan seksual terhadap anak yang melibatkan mantan Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT), kembali menjadi sorotan publik. Dalam persidangan lanjutan, berbagai pihak, termasuk Lembaga Perlindungan Anak (LPA) dan kuasa hukum korban, secara tegas mendesak Majelis Hakim untuk menjatuhkan hukuman maksimal kepada terdakwa.
Desakan ini muncul sebagai bentuk komitmen untuk menegakkan keadilan, memberikan efek jera, dan menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun, termasuk aparat penegak hukum, yang kebal di mata hukum, terutama dalam kasus yang melibatkan korban anak-anak.
Pokok Desakan Hukum Maksimal
Permintaan hukuman maksimal didasarkan pada beberapa pertimbangan utama:
- Dampak Psikologis Korban: Kekerasan seksual telah menimbulkan trauma mendalam dan kerugian psikologis permanen pada korban anak. Hukuman yang berat dianggap sepadan dengan penderitaan yang dialami korban.
- Posisi Terdakwa: Terdakwa merupakan seorang pejabat publik (Eks Kapolres) yang seharusnya mengemban tugas untuk melindungi masyarakat dan menegakkan hukum. Penyalahgunaan wewenang dan jabatan untuk melakukan kejahatan keji dianggap sebagai pemberat hukuman.
- Efek Jera: Hukuman maksimal diharapkan dapat memberikan efek jera tidak hanya bagi terdakwa, tetapi juga bagi aparat atau pejabat lain agar tidak pernah melakukan tindak pidana serupa.
- Dasar Hukum: Terdakwa dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yang memungkinkan hukuman diperberat karena dilakukan oleh aparat penegak hukum dan memiliki unsur penyalahgunaan kekuasaan.
Proses Persidangan
Saat ini, kasus tersebut masih berada di tahap persidangan di Pengadilan Negeri (PN) setempat. Pihak keluarga korban berharap Majelis Hakim dapat mempertimbangkan seluruh bukti, kesaksian, dan kondisi psikologis korban dalam menjatuhkan vonis.
Desakan publik dan lembaga terkait ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan penting bagi Majelis Hakim dalam memutuskan putusan yang seadil-adilnya.








