YOGYAKARTA, 30 OKTOBER 2025 – Maraknya kasus judi online (judol) yang kini menyasar kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, termasuk petani, pedagang kecil, hingga anak sekolah, telah memicu kekhawatiran mendalam di kalangan akademisi. Data terbaru PPATK yang mencatat perputaran uang judi online tembus hingga Rp976 triliun memperkuat dugaan bahwa praktik ilegal ini telah menggerogoti sektor rentan secara masif.
Menanggapi fenomena ini, Dr. Sri Handayani, M.Si., seorang Sosiolog dan pakar komunikasi digital dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menekankan bahwa masalah judi online bukan hanya sekadar isu kriminal, tetapi juga krisis sosial dan literasi digital.
Kelompok Rentan Jadi Target Utama
Dr. Sri Handayani menjelaskan bahwa kelompok rentan menjadi target empuk karena beberapa faktor utama:
- Iming-iming Kekayaan Instan: Judi online, melalui iklan yang manipulatif, menjanjikan kemenangan instan dan besar. Hal ini sangat menarik bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang menghadapi kesulitan ekonomi dan mencari jalan keluar cepat.
- Aksesibilitas Digital yang Rendah: Meskipun memiliki akses ke internet dan gawai, kelompok rentan sering kali memiliki tingkat literasi digital yang rendah. Mereka mudah terperdaya oleh tautan penipuan, janji bonus, dan skema yang dirancang untuk mengambil uang mereka.
- Tekanan Ekonomi dan Sosial: Kenaikan biaya hidup pasca-pandemi mendorong sebagian masyarakat mencoba peruntungan dari judol, bahkan hingga mengorbankan kebutuhan pokok keluarga.
Catatan Sosiolog: “Judi online adalah ilusi solusi instan yang dipromosikan melalui teknologi. Sayangnya, mereka yang paling rentan secara ekonomi adalah yang paling mudah percaya pada ilusi ini karena minimnya literasi untuk membedakan peluang nyata dan penipuan digital.”
Rekomendasi UGM: Literasi Digital Sebagai Benteng Pertahanan
Dr. Handayani menegaskan bahwa upaya penindakan hukum saja tidak cukup. Dibutuhkan langkah preventif yang fokus pada penguatan mental dan pengetahuan masyarakat melalui Peningkatan Literasi Digital:
- Edukasi Kritis Digital: Program edukasi harus diajarkan di tingkat komunitas, sekolah, dan bahkan posyandu, untuk mengajarkan cara berpikir kritis terhadap janji-janji di internet (terutama yang berkaitan dengan uang dan investasi).
- Peran Pemerintah Daerah: Pemerintah daerah dan desa didorong untuk menggunakan anggaran desa untuk program sosialisasi anti-judol, mengingat sebagian besar pemain berasal dari daerah non-metropolitan.
- Kolaborasi Multisektor: Kampanye pencegahan harus melibatkan ulama, tokoh masyarakat, guru, dan lembaga keuangan untuk menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
“Peningkatan literasi digital harus menjadi prioritas nasional. Ini adalah benteng pertahanan terakhir kita untuk melindungi masyarakat rentan dari eksploitasi digital, termasuk judi online,” tutup Dr. Handayani.








