Jakarta – Kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum anggota Polda Sulawesi Selatan (Sulsel), Briptu S, terhadap tahanan perempuan di ruang tahanan DIT Tahti Polda Sulsel telah diproses melalui dua jalur utama: pidana umum dan kode etik profesi Polri.
1. Penetapan Tersangka dan Proses Pidana
- Pelaku: Oknum polisi berinisial Briptu Sanjaya (sebelumnya disebut Briptu S), yang bertugas sebagai penjaga tahanan di Direktorat Tahanan dan Barang Bukti (Dit Tahti) Polda Sulsel.
- Korban: Tahanan perempuan berinisial FB (atau FMB).
- Tindak Pidana: Briptu Sanjaya dilaporkan atas dugaan tindak pidana kekerasan seksual, yaitu memaksa korban melakukan seks oral di kamar sel tahanan pada sekitar Juli 2023.
- Status Hukum: Setelah dilaporkan secara pidana oleh korban didampingi LBH Makassar, Briptu Sanjaya kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sulsel.
- Putusan Pidana: Dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Briptu Sanjaya terbukti bersalah dan divonis hukuman 3 tahun penjara serta denda Rp 100 juta. Putusan ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya, yaitu 10 tahun penjara.
2. Pengawalan oleh Propam dan LBH Makassar
Kasus ini menjadi sorotan karena adanya dugaan pelanggaran hukum oleh penegak hukum di lingkungan tahanan, sehingga mendapat pengawalan ketat:
| Pihak Pengawal | Peran dalam Pengawalan Kasus |
| Propam Polda Sulsel | Bertanggung jawab atas proses kode etik profesi Polri. Propam telah mengamankan Briptu S dan melakukan pemeriksaan, yang kemudian menghasilkan putusan etik. Namun, putusan etik yang dijatuhkan (demosi 7 tahun) sempat menuai kritik dari Kompolnas dan LBH Makassar karena dianggap terlalu ringan dan tidak sesuai dengan pelanggaran pidana berat yang dilakukan (seharusnya PTDH/Pemecatan Tidak Dengan Hormat). |
| LBH Makassar | Berperan sebagai Penasihat Hukum korban (FB). LBH Makassar secara aktif mendampingi korban sejak awal pelaporan pidana ke SPKT Polda Sulsel dan terus memantau proses penyidikan hingga persidangan di pengadilan, memastikan hak-hak korban terpenuhi. LBH Makassar juga mengecam lambannya proses hukum dan putusan etik yang dinilai cederai rasa keadilan korban. |
LBH Makassar dan pihak-pihak terkait lainnya juga mendesak dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap kinerja internal Polda Sulsel, khususnya terkait perlindungan dan ruang aman bagi tahanan perempuan, mengingat kantor polisi seharusnya menjadi tempat yang aman.








