JAKARTA — Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) kembali menekankan pentingnya penerapan sanksi maksimal dan pemulihan komprehensif bagi pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, terutama dalam kasus berulang (residivis). Langkah ini didesak sebagai bentuk perlindungan maksimal bagi anak-anak korban.
Meskipun secara institusional Komnas Perempuan konsisten menentang hukuman mati atas dasar prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), lembaga ini mendorong agar semua opsi sanksi berat yang diatur undang-undang diterapkan secara tegas.
Fokus pada Pidana Maksimal dan Restitusi
Menyikapi maraknya kasus kekerasan seksual berulang, Komnas Perempuan menekankan bahwa perlindungan maksimal tidak hanya diukur dari lamanya hukuman, tetapi juga dari efek jera, pencegahan, dan pemenuhan hak korban.
Sanksi yang Didukung Komnas Perempuan Meliputi:
- Hukuman Penjara Seumur Hidup: Dalam kasus kekerasan seksual yang korbannya banyak dan dilakukan berulang (residivis), Komnas Perempuan mendorong hakim menjatuhkan pidana penjara seumur hidup sebagai hukuman pokok maksimal.
- Sanksi Tambahan: Pemberlakuan sanksi tambahan berupa kebiri kimia dan pengumuman identitas pelaku sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
- Restitusi Maksimal: Ini merupakan poin krusial. Pelaku harus dibebankan restitusi (ganti kerugian) untuk biaya hidup, pendidikan, dan pemulihan psikologis korban hingga dewasa. Komnas Perempuan menyoroti bahwa hukuman ini sering lebih berdampak pada pemulihan korban dibandingkan pidana mati.
Pentingnya Pemulihan Korban:
“Tujuan utama kita adalah memastikan kekerasan seksual tidak berulang dan hak-hak korban terpenuhi. Hukuman yang berat harus diiringi dengan upaya restorasi. Pidana maksimal dan keharusan restitusi adalah bentuk pertanggungjawaban penuh pelaku terhadap masa depan korban,” jelas perwakilan Komnas Perempuan.
Menjaga Prinsip HAM dan Efek Jera
Komnas Perempuan menegaskan bahwa dorongan untuk sanksi maksimal ini tidak mengubah sikap dasar mereka menolak hukuman mati. Lembaga tersebut mengkhawatirkan bahwa hukuman mati dan kebiri dapat menjadi fokus emosional publik semata, tanpa mengatasi kelemahan mendasar dalam sistem penegakan hukum, seperti minimnya pelaporan dan layanan pemulihan.
Alih-alih hukuman mati, yang melanggar hak untuk hidup, Komnas Perempuan mendorong Pemerintah untuk segera merumuskan aturan turunan UU TPKS. Hal ini untuk memastikan aparat penegak hukum (APH) dapat menerapkan UU TPKS dengan perspektif yang berpihak pada korban dan fokus pada tindakan pencegahan agar kejahatan seksual berulang tidak terjadi.








