JAKARTA — Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mencatat tren peningkatan drastis dalam jumlah laporan kejahatan siber sepanjang tahun 2025. Kejahatan yang paling mendominasi adalah penipuan online (online scam) dan tindak pidana yang melibatkan manipulasi data atau dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Peningkatan Signifikan dan Total Kerugian
Data dari Direktorat Reserse Siber Polda Metro Jaya menunjukkan tingginya angka pelaporan. Sebagai contoh:
- Jumlah Laporan (Januari–Agustus 2025): Polda Metro Jaya mencatat 2.597 laporan terkait tindak pidana siber.
- Total Kerugian: Kerugian masyarakat dari kasus-kasus siber di wilayah hukum Polda Metro Jaya saja mencapai sekitar Rp 24,3 miliar pada periode yang sama.
- Tren Kenaikan: Tren laporan menunjukkan peningkatan signifikan, terutama pada periode Mei hingga Juli 2025.
Selain itu, lembaga seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) juga mencatat adanya 3,64 miliar serangan siber atau anomali trafik di Indonesia sepanjang Januari hingga Juli 2025, menunjukkan intensitas ancaman di ruang digital.
Modus Kejahatan Paling Banyak Dilaporkan
Jenis kejahatan yang paling banyak dilaporkan oleh masyarakat didominasi oleh modus yang mengeksploitasi kerentanan data dan tipu daya psikologis:
| Kategori Kejahatan | Modus Dominan | Catatan Kepolisian |
| Penipuan Online | Online scam, penipuan kerja paruh waktu, investasi kripto fiktif (pig butchering scam), dan phishing. | Menjadi laporan terbanyak di sebagian besar Polda. |
| Manipulasi Data (ITE) | Peniruan identitas online (termasuk deepfake berbasis AI), penyalahgunaan data pribadi untuk akses rekening korban, dan pengrusakan data. | Polisi menyoroti penggunaan teknologi canggih seperti AI oleh pelaku. |
| Kejahatan Lainnya | Judi online (Judol), pemerasan online (sextortion), dan pinjaman online ilegal (Pinjol). | Kasus Judol juga tercatat sebagai salah satu kasus siber terbanyak yang ditangani Polri. |
Tantangan Baru: Kecanggihan Pelaku dan Jaringan Lintas Negara
Peningkatan drastis ini dipicu oleh dua faktor utama:
- Penggunaan Teknologi AI: Pelaku kini memanfaatkan teknologi canggih, seperti phishing, malware, dan deepfake, untuk mencuri data pribadi korban, membuat modusnya semakin meyakinkan dan sulit dideteksi.
- Jaringan Internasional: Penyidik mengidentifikasi adanya sindikat kejahatan siber lintas negara yang beroperasi di Indonesia, Malaysia, dan Kamboja, yang sering menggunakan sindikat lokal untuk membuka rekening bank (nominee) sebagai penampungan dana kejahatan.
Upaya Penanganan
Untuk menekan laju kejahatan siber, Polri telah melakukan beberapa langkah strategis:
- Pembentukan Satgas: Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Siber dan kerja sama dengan Satgas PASTI Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
- Edukasi dan Pemblokiran: Peningkatan edukasi kepada masyarakat serta pengajuan pemblokiran ribuan aplikasi, situs, dan konten ilegal yang digunakan untuk menipu.
- Penguatan Hukum: Penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU ITE, serta Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), untuk menjerat pelaku.
Pihak Kepolisian terus mengimbau masyarakat agar selalu waspada, tidak mudah tergiur iming-iming hasil cepat, dan selalu melakukan verifikasi terhadap setiap permintaan data pribadi yang mencurigakan.








