JAKARTA, 20 OKTOBER 2025 – Mahkamah Agung (MA) telah menjatuhkan putusan kasasi dengan vonis pidana bersyarat terhadap pelaku pemerasan yang terjadi dalam proses penagihan utang. Keputusan ini menarik perhatian publik dan kalangan hukum karena memberikan perspektif baru terhadap penanganan kasus-kasus yang melibatkan tindakan melawan hukum dalam konteks perdata (utang-piutang).
Vonis bersyarat yang dijatuhkan MA menunjukkan adanya pertimbangan yang mendalam, tidak hanya terhadap aspek pidana murni, tetapi juga latar belakang permasalahan utang-piutang yang melatarinya.
Rincian Putusan dan Pertimbangan MA
- Terdakwa: Pelaku yang divonis adalah penagih utang yang melakukan pemerasan dengan ancaman kekerasan saat menagih utang kepada debitur.
- Vonis: MA memutus pidana bersyarat, yang berarti terdakwa tidak harus menjalani hukuman penjara jika selama masa percobaan yang ditetapkan, ia tidak melakukan tindak pidana lain.
- Dasar Hukum: Terdakwa terbukti melanggar pasal yang berkaitan dengan pemerasan atau pengancaman.
- Pertimbangan Utama: Pertimbangan MA untuk menjatuhkan vonis bersyarat diduga mencakup:
- Latar Belakang Kasus: Tindakan pemerasan tersebut berawal dari masalah utang yang sah secara perdata, bukan murni tindak kejahatan tanpa motif.
- Tingkat Kerugian: Dampak kerugian yang ditimbulkan dan faktor-faktor lain, seperti penyesalan terdakwa atau janji untuk tidak mengulangi perbuatan.
- Restorasi Keadilan: MA berupaya mencapai keadilan yang seimbang, dimana tindakan pidana tetap dihukum, namun memberi kesempatan kepada terdakwa untuk memperbaiki diri tanpa harus mendekam di penjara.
Implikasi Yurisprudensi
Keputusan ini menjadi penting karena menegaskan bahwa meskipun penagih utang memiliki hak perdata, penggunaan kekerasan atau pemerasan dalam proses penagihan adalah tindakan pidana. Namun, penetapan hukuman bersyarat memberikan nuansa penegakan hukum yang lebih humanis dalam konteks konflik utang-piutang.
Putusan ini akan menjadi yurisprudensi bagi pengadilan di tingkat bawah dalam memutus kasus serupa, memberikan batas yang jelas antara hak menagih dan larangan melakukan tindak pidana.







