JAKARTA – Ombudsman Republik Indonesia secara tegas meminta pihak penegak hukum, khususnya kepolisian, untuk memberikan penjelasan yang transparan dan akuntabel mengenai penanganan kasus dugaan pencabulan terhadap balita yang terjadi di suatu daerah. Permintaan ini muncul setelah publik menyoroti lambatnya proses penindakan, di mana pelaku baru ditahan tujuh bulan setelah laporan awal kasus tersebut dilayangkan. Ombudsman menyoroti potensi adanya maladministrasi atau kelalaian dalam proses penyidikan yang berlarut-larut, padahal kasus ini melibatkan korban anak di bawah umur yang memerlukan perlindungan dan keadilan segera.
Desakan untuk transparansi ini bertujuan untuk menghilangkan keraguan publik dan memastikan bahwa prinsip keadilan dan perlindungan anak telah dijalankan secara maksimal oleh aparat penegak hukum. Lamanya waktu tujuh bulan sejak laporan diterima hingga dilakukannya penahanan menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas dan kecepatan respons kepolisian dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak. Ombudsman menekankan bahwa kasus-kasus sensitif seperti ini harusnya mendapatkan prioritas penanganan, mengingat dampak psikologis dan traumatis yang dialami oleh korban balita.
Pihak Ombudsman mendesak kepolisian untuk segera menjelaskan secara rinci alasan di balik jeda waktu yang panjang tersebut, termasuk apakah ada hambatan teknis, kurangnya bukti awal, atau adanya dugaan intervensi. Selain menuntut penjelasan proses penyidikan, Ombudsman juga meminta jaminan bahwa korban dan keluarganya mendapatkan pendampingan hukum dan psikologis yang memadai selama proses berlangsung. Penahanan yang terlambat ini diharapkan tidak mengurangi komitmen penegak hukum untuk memproses pelaku sesuai dengan undang-undang perlindungan anak yang berlaku, serta memastikan hukuman maksimal dijatuhkan sebagai bentuk keadilan bagi korban.








