Jakarta – Kebakaran yang melanda kilang minyak Pertamina Refinery Unit (RU) II Dumai, Riau, pada Kamis (2/10) malam kembali mengguncang kepercayaan publik terhadap sistem keselamatan objek vital nasional. Ledakan keras disertai kobaran api besar membuat warga sekitar panik, dan banyak yang segera dievakuasi. Peristiwa ini sontak mengingatkan publik pada tragedi kebakaran di Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara, pada Maret 2023 lalu yang menewaskan sedikitnya 33 orang dan menghanguskan puluhan rumah warga.
Kala itu, Pertamina berjanji akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap standar keselamatan, termasuk penataan ulang kawasan depo yang berdampingan langsung dengan pemukiman padat. Bahkan pemerintah sempat merencanakan relokasi Depo Plumpang atau permukiman warga di sekitarnya demi mencegah tragedi serupa. Namun, lebih dari satu tahun berselang, kebakaran kembali terjadi di fasilitas Pertamina lain. Peristiwa di Dumai ini menimbulkan pertanyaan besar: sejauh mana evaluasi itu benar-benar dijalankan?
Kebakaran di Dumai memang berbeda karakter dengan Plumpang. Jika Plumpang rawan karena lokasinya menempel dengan kawasan hunian, kilang Dumai adalah fasilitas pengolahan minyak berskala besar. Namun, esensinya sama: terjadi kebakaran di infrastruktur energi yang seharusnya dijaga dengan standar keamanan internasional. Dengan status sebagai objek vital nasional, kilang dan depo Pertamina semestinya mendapat perhatian khusus dalam aspek modernisasi peralatan, pelatihan sumber daya manusia, hingga manajemen risiko kebakaran.
Pengamat energi dan kebijakan publik menilai, kasus Plumpang semestinya menjadi momentum perbaikan besar-besaran, bukan sekadar menghasilkan laporan evaluasi formal. Sayangnya, pola yang terlihat justru berulang: setiap terjadi kebakaran, publik hanya disuguhi pernyataan “investigasi akan dilakukan”, “keselamatan adalah prioritas”, dan “kami mohon doa serta dukungan.” Setelah itu, kasus seolah menguap dari pemberitaan tanpa ada tindak lanjut transparan.
“Kalau evaluasi hanya berhenti di rapat dan laporan internal, hasilnya mudah ditebak: kebakaran tetap berulang. Yang dibutuhkan adalah langkah nyata berupa peremajaan kilang tua, penguatan sistem deteksi dini, serta keterbukaan hasil investigasi kepada publik,” tegas seorang pakar energi.
Masalah transparansi memang krusial. Hasil investigasi kebakaran Plumpang, hingga kini, belum sepenuhnya dipublikasikan secara detail kepada masyarakat. Akibatnya, publik sulit menilai sejauh mana Pertamina benar-benar memperbaiki sistem keamanannya. Pola yang sama kembali muncul di Dumai: investigasi dijanjikan, tetapi hasil akhirnya masih tanda tanya. Padahal, risiko yang ditanggung masyarakat sekitar tidak kecil, mulai dari ancaman keselamatan jiwa hingga kerugian materi akibat dampak kebakaran.
Kebakaran berulang juga menimbulkan kerugian lebih luas: gangguan terhadap pasokan energi nasional, potensi melonjaknya biaya operasional, hingga merosotnya kepercayaan publik terhadap Pertamina sebagai pengelola energi negara. Dalam jangka panjang, citra Indonesia di mata investor global juga bisa tercoreng jika keamanan infrastruktur energi dianggap tidak terjamin.
Kini publik menuntut kejelasan. Evaluasi seharusnya bukan hanya jargon yang diulang setiap kali terjadi musibah. Evaluasi berarti tindakan nyata: memperbarui teknologi, meningkatkan pengawasan, memperketat SOP, melatih SDM dengan simulasi rutin, dan memastikan hasil investigasi dibuka kepada masyarakat. Tanpa langkah nyata, kebakaran kilang Pertamina tidak lagi bisa dianggap musibah semata, melainkan cerminan kegagalan sistemik dalam tata kelola industri energi nasional.
Dari Plumpang ke Dumai, deretan kebakaran ini menjadi pengingat pahit bahwa janji evaluasi tanpa implementasi hanyalah formalitas. Pertanyaannya kini: apakah Pertamina dan pemerintah akan terus menunggu musibah berikutnya, atau berani mengambil langkah konkret agar “kilang terbakar lagi” tidak menjadi headline rutin di masa depan?