JAKARTA – Isu disiplin dan kode etik di internal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) kembali mencuat ke permukaan pada awal Oktober 2025. Hal ini dipicu oleh sanksi yang dijatuhkan dalam kasus yang menimbulkan korban jiwa, hingga penindakan terhadap anggota yang terlibat dalam jaringan narkoba.
Sanksi Etik Kasus Rantis Brimob yang Melindas Ojol
Kasus meninggalnya driver ojek online Affan Kurniawan akibat terlindas kendaraan taktis (rantis) Brimob saat demonstrasi kini berujung pada penindakan internal.
Tiga personel Brimob yang merupakan penumpang rantis tersebut dijatuhi sanksi etik oleh Korps Bhayangkara. Sanksi yang diberikan berupa penempatan khusus (patsus) selama waktu tertentu dan kewajiban untuk menyampaikan permintaan maaf kepada publik dan keluarga korban.
Langkah ini menyusul tindakan tegas sebelumnya, di mana salah satu anggota yang juga terlibat dalam insiden tersebut, Kompol Kosmas, telah dijatuhi sanksi Pemecatan Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari institusi Polri. Keputusan ini ditegaskan sebagai upaya menjaga marwah institusi dan menunjukkan komitmen Polri terhadap akuntabilitas anggotanya.
Mantan Jenderal yang Divonis Seumur Hidup
Meskipun sudah bergulir sejak lama, status hukum dua mantan jenderal polisi yang terjerat kasus besar—Ferdy Sambo (pembunuhan berencana) dan Teddy Minahasa (peredaran narkoba)—tetap menjadi benchmark penegakan hukum di tubuh Polri.
- Kedua mantan jenderal tersebut telah divonis penjara seumur hidup di tingkat kasasi (Mahkamah Agung).
- Proses hukum keduanya menjadi simbol bahwa Polri tetap berupaya menindak tegas setiap anggotanya, tanpa pandang pangkat, yang terbukti melanggar pidana berat.
Secara keseluruhan, serangkaian sanksi dan vonis di awal Oktober 2025 ini menunjukkan fokus Polri pada pembersihan internal dan pengembalian kepercayaan publik melalui penindakan tegas terhadap pelanggaran disiplin dan etik.